Friday, August 17, 2007

Istri atau pembantu??

Tulisan ini hanya diperuntukkan bagi keluarga yang tidak memiliki "pembantu". Suatu waktu istri saya pernah cerita atau lebih tepatnya sih complain tentang sikap para suami yang menganggap istrinya itu seperti "pembantu". Saya gunakan para suami karena hal ini juga diamini oleh teman-teman istri saya. Kemudian saya pun memberanikan diri mewakili para suami bahwa itu hanya perasaan para istri saja yang terlalu sensitif, bukankah sebaiknya melayani dan menuruti perintah suami itu merupakan bentuk bakti seorang istri terhadap suami???. Hallaaah......lagi-lagi kalo mencari siapa yang benar tentunya gak akan ada habis-habisnya, sebaiknya kita coba kupas dan mencari apa yang benar instead of siapa yang benar.

Baik kita mulai saja dengan kenapa para istri sampai merasa seperti pembantu, untuk lebih mudahnya saya ilustrasikan image atau mindset tentang "pembantu", kenapa menggunakan tanda kutip karena pertama, saya tidak punya pembantu jadi tidak tahu secara pasti peran dan peranan pembantu dalam suatu rumah tangga. kedua, keberadaan pembantu saat ini jadi bias, dari yang seharusnya hanya membantu tetapi dalam kenyataannya malah menjadi peran utama dan sekaligus objek penderita.

Image hubungan antara "majikan dan pembantu" berdasarkan tayangan tv dan yang umum terjadi di lingkungan masyarakat (maaf tidak sepenuhnya benar, hanya gambaran pribadi saja) :

  1. Pembantu itu bertanggung jawab dalam hampir semua hal pekerjaan rumah majikan dari mulai sapu-sapu, ngepel lantai, cuci pakaian, jemur pakaian, setrika pakaian, belanja, masak dan ngurus anak.
  2. Pembantu harus siap 24 jam, kapan saja majikan memerlukan walaupun jam tidur bisa dengan serta merta dibangunkan.
  3. Pembantu itu harus nurut, tidak boleh protes apalagi membantah, walaupun majikan keliru biasanya majikan harus didudukan pada posisi yang benar.
  4. Pembantu tidak diperkenankan berbuat kesalahan atau merusak barang kalo hal itu sampai terjadi maka majikan bisa memotong gajinya bahkan tidak jarang ada yang sampai menyakiti.
  5. Majikan tidak merasa perlu lagi melakukan pekerjaan rumah karena sudah ada pembantu.
  6. Majikan merasa mempunyai hak untuk melakukan 5 point di atas karena majikan yang menyediakan fasilitas (tempat berteduh) dan gaji bagi pembantu.

Nah itulah kira-kira sekilas gambaran hubungan antara majikan dan pembantu, sekarang mari kita coba renungi bersama-sama apakah hubungan suami-istri dalam rumah tangga kita ada yang seperti di atas?? Kalo ada saja satu point apalagi kalo lebih yaah.....berarti yang ada sekarang adalah hubungan "majikan dan pembantu" dan tidak salah kalo istri kita merasa diri mereka seperti pembantu, itu bukan perasaan tapi memang kenyataan.

Trus bagaimana kalo sebaliknya? suami yang sudah seharian bekerja setelah pulang ke rumah disibukkan dengan pekerjaan rumah karena sang istri berdalih kecapean setelah mengurus anak dan tektek bengek lainnya dari pagi hari sampai petang. Kalo seperti ini kejadianya, tidak salah juga kalo suami merasa sebagai kuli atau budak.

Lagi-lagi sangat sulit untuk membina dan menjalankan suatu hubungan bila sifat ke-akuan nya masih dominan, karena dengan sifat ke-akuan nya tersebut sang istri atau suami masing-masing merasa diri lebih berperan penting sehingga memandang dengan sebelah mata sebesar apapun usaha yang dilakukan pasangannya.

Hubungan suami-istri yang sebenarnya menurut saya harus lebih kepada "team-work", dimana dalam hubungan tersebut ada rasa saling menghargai, saling percaya, saling menghormati dan saling berbagi. Tiap-tiap anggota team harus tahu dan responsible terhadap tugas dan pekerjaan yang diembannya tentu saja disesuaikan dengan kemampuan dan skill yang dimiliki, tetapi harus tetap diingat pembagian porsi kerjanya pun diupayakan seimbang.

Pernikahan adalah sebuah komitmen panjang, kenapa? karena sejalan dengan waktu, pasangan tersebut harus terus meng-update terus komitmennya tersebut baik yang bersifat aktif maupun yang pasif. Berawal dari kita commit untuk menerima segala kekurangan dan kelebihan yang ada dalam diri masing2 individu yang diikrarkan lewat pernikahan. Tetapi commit menerima atau komitmen yang sifatnya pasif ini tidaklah cukup untuk menjalankan roda rumah tangga, karena ada lagi komitmen lain yang sifatnya aktif yang dibutuhkan untuk menjaga keharmonisan rumah tangga yaitu komitmen untuk saling menyelaraskan/menyesuaikan diri. Kita semua tahu kalo dua individu yang berbeda latar belakangnya hanya dapat dipersatukan apabila ada keinginan saling menyesuaikan dari masing2 individu tersebut, kalo tidak ada usaha dari kedua individu tersebut atau hanya salah satu saja yang berusaha, maka tak ayal lagi perpisahan hanya tinggal masalah waktu saja.

Kenapa orang bisa sampai berpisah, karena sudah tidak ada komitmen lagi. Kenapa ada pasangan yang berpisah padahal pernikahannya baru seumur jagung, karena ada yang salah pada komitmennya atau mungkin karena tidak punya komitmen. Kenapa ada orang yang berpisah setelah 10 atau 15 tahun, mungkin karena pasangan tersebut tidak meng-update komitmennya hanya bersandar kepada komitmen pasif semata yaitu sikap menerima dan berusaha untuk memaklumi yang mana hal ini seperti menyimpan bom waktu yang suatu saat apabila tidak terkontrol bisa meledak dan bisa merusak segalanya, (mungkin) apabila mereka mau saling berusaha untuk menyesuaikan dan bersikap terbuka dengan keinginannya masing-masing, maka perpisahan tak perlu terjadi.

Kalo pasangan berpisah setelah 40 - 50 th menikah??...waah itu sih walloohu 'alam, karena saya sendiri bukan seorang penasehat perkawinan, saya pun masih belajar dan tulisan di atas hanya berdasarkan pengamatan saja tidak melalui studi dan survey. Demikian, semoga bermanfaat.